Selasa, 20 Oktober 2009

JAGUNG TRANSGENIK DALAM REKAYASA GENETIKA

PENDAHULUAN


Jagung dibudidayakan secara komersial di lebih dari 100 negara dengan

produksi sekitar 705 juta metrik ton. Pada tahun 2004 produsen jagung

terbesar di dunia berturut-turut adalah Amerika Serikat, Cina, Brasil, Meksiko,

Perancis, dan India (Agbios GM Data Base 2007).

Pada umumnya jagung dibudidayakan untuk digunakan sebagai pangan,

pakan, bahan baku industri farmasi, makanan ringan, susu jagung, minyak

jagung, dan sebagainya. Di negara maju, jagung banyak digunakan untuk

pati sebagai bahan pemanis, sirop, dan produk fermentasi, termasuk alkohol.

Di Amerika, jagung banyak digunakan untuk bahan baku pakan (Agbios

GM Data Base 2007).

Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan kedua setelah padi.

Selain itu, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri pakan dan

industri lainnya. Hal ini mengakibatkan kebutuhan jagung di dalam negeri

terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk memenuhi kebutuhan jagung

harus dilakukan impor, terutama dari Amerika.

Diperkirakan kebutuhan jagung dalam negeri sampai tahun 2010 akan

terus meningkat sehubungan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan

berkembangnya industri pangan dan pakan. Oleh karena itu, produksi

jagung dalam negeri perlu ditingkatkan sehingga volume impor dapat

dikurangi dan bahkan ditiadakan.

Ketergantungan akan jagung impor berdampak buruk terhadap keberlanjutan

penyediaan jagung di dalam negeri mengingat komoditas ini di

negara produsen utama telah digunakan untuk berbagai keperluan,

termasuk untuk bahan baku bioenergi. Di Amerika Serikat, misalnya, telah

dicanangkan penggunaan jagung sebagai sumber bioenergi. Pada saatnya

nanti akan terjadi persaingan penggunaan jagung untuk pangan, pakan,

bahan baku industri, dan bioenergi.

Apabila kebutuhan jagung nasional masih bergantung pada impor

dikhawatirkan akan mematikan industri pangan dan pakan berbasis jagung

karena berkurangnya pasokan bahan baku. Hal ini mengancam ketahanan

pangan dan keberlanjutan usaha peternakan.

Upaya peningkatan produksi jagung dapat dilakukan melalui berbagai

cara, antara lain melalui perbaikan genetik tanaman. Perbaikan genetik

jagung bertujuan untuk mengatasi kendala pertumbuhan tanaman,

terutama cekaman lingkungan biotik dan abiotik.

Perbaikan genetik jagung dapat dilakukan secara konvensional maupun

melalui rekayasa genetik (genetic engeenering). Dengan berkembangnya

bioteknologi, perbaikan genetik jagung melalui rekayasa genetik akan menjadi

andalan dalam pemecahan masalah perjagungan di masa mendatang.

Seperti diketahui, pemuliaan secara konvensional mempunyai keterbatasan

dalam mendapatkan sifat unggul dari tanaman. Dalam rekayasa genetik

jagung, sifat unggul tidak hanya didapatkan dari tanaman jagung itu sendiri,

tetapi juga dari spesies lain sehingga dapat dihasilkan tanaman transgenik.

Jagung Bt merupakan tanaman transgenik yang mempunyai ketahanan

terhadap hama, di mana sifat ketahanan tersebut diperoleh dari bakteri

Bacillus thuringiensis (Herman 1997).






JAGUNG BT


Salah satu hambatan yang paling besar dalam upaya peningkatan produksi

jagung adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), seperti

hama dan penyakit tanaman. Serangan OPT pada tanaman jagung selain

menurukan produksi juga mengurangi pendapatan petani dan adanya

residu pestisida dalam jumlah besar yang menyebabkan polusi lingkungan.

European corn borer (ECB), Ostrinia nubilalis, merupakan hama jagung

di Amerika dan Kanada yang dapat merugikan 1 milyar dolar Amerika per

tahun. Hama ECB dapat dieliminasi oleh pestisida kimia, tetapi hanya dapat

diaplikasi pada areal yang terbatas (kurang dari 20%), karena aplikasi

pestisida sulit dilakukan dan diperlukan aplikasi lain dalam mengontrol ECB.

Tersedianya bioaktif dari kristal protein yang dikode oleh gen Bt,

memungkinkan modifikasi genetik tanaman jagung yang disisipi dengan

gen Bt untuk menghasilkan jagung transgenik Bt (Bt corn). Bt protein yang

dihasilkan oleh gen Bt dapat meracuni hama yang menyerang tanaman

jagung. Setelah dimakan oleh corn borer, Bt protein dipecah oleh suatu

enzim pemecah dalam pencernaan yang bersifat alkalin dari larva serangga

dan menghasilkan protein pendek yang mengikat dinding pencernaan.

Pengikatan dapat menyebabkan kerusakan membran sel sehingga larva

berhenti beraktivitas (Syngenta Seeds Communication 2003).

Gen Bt disolasi dari bakteri tanah Bacillus thuringiensis yang telah

digunakan petani di negara maju sebagai pestisida hayati sejak puluhan

tahun yang lalu (Herman 2002). B. thuringiensis menghasilkan protein kristal

Bt, atau Crystal protein (Cry) yang merupakan protein endotoksin yang

bersifat racun bagi serangga (insektisidal) (Held et al. 1982, Macintosh et al.

1990). Namun protein endotoksin yang dihasilkan oleh B. thuringiensis tidak

melakukan pengikatan pada permukaan pencernaan sel mamalia, karena

itu hewan ternak dan manusia tidak tahan terhadap protein tersebut (Agbios

GM Data Base 2007).

Terdapat delapan kelompok gen Bt berdasarkan sifat virulensinya

(Herman 2002), tetapi yang sudah banyak ditransformasikan ke dalam

tanaman jagung adalah yang menghasilkan jenis Bt endotoksin dari gen

Cry1Ab. Protein Cry dari gen ini hanya menghasilkan satu jenis yang mengikat

pada lokasi spesifik dari serangga target (Agbios GM Data Base 2007).

Produksi jagung Bt pada saat ini didominasi oleh Amerika, di mana areal

pertanamannya pada tahun 2000 telah mencapai 92% dari total areal

pertanaman jagung. Keuntungan diperoleh dari pertanaman jagung Bt di

Amerika mencapai 141 juta dolar (59%) dari total keuntungan sebesar 240

juta dolar Amerika (Herman 2002).

Pertanaman jagung Bt mempunyai dampak positif terhadap lingkungan

karena dapat menekan penggunaan pestisida. Pengurangan pestisida berarti

menurunkan biaya produksi. Di negara bagian Iowa, Amerika Serikat, yang

mempunyai 80% areal jagung Bt terjadi pengurangan penggunaan pestisida

hingga 600 ton (Teng 2001).

Dampak positif lain dari pertanaman jagung Bt adalah ketahanan

tanaman terhadap jamur toksin dari Fusarium penyebab busuk tongkol,

dibandingkan dengan jagung non-Bt yang mengalami keruskan berat.

Berdasarkan hasil analisis mikotoksin, jagung Bt mempunyai kandungan

fumonisin 1,5 ppm, sedangkan jagung non-Bt mempunyai kadar yang lebih

tinggi, mencapai 14,5 ppm (Fuller 1999).

Penelitian menunjukkan bahwa penanaman jagung Bt tidak berpengaruh

terhadap serangga berguna seperti laba-laba, coccinellid, chtysopid,

nabid, dan aman terhadap burung puyuh Northern Bobwhite (McLean and

MacKenzie 2001).

Rabu, 07 Oktober 2009

Batu Bara, Produk Strategis yang Harus Jadi Prioritas untuk Industri Nasional


I . Kalimantan selatan sebagai daerah penghasil batu bara

PADA tahun 2004, produksi batu bara Indonesia mencapai 127 juta ton dan akan ditingkatkan menjadi 150 juta ton pada tahun 2005 (Kompas, 25/2). Dengan produksi sebesar itu, tahun 2004 Indonesia mampu mengekspor batu bara lebih dari 95 juta ton dan ini telah mengubah posisi Indonesia menjadi eksportir batu bara nomor dua di dunia, setelah Australia.

Dari data yang ada saat ini, sumber batu bara (resources) sebanyak 57,8 miliar ton. Dari jumlah itu hanya 7 miliar ton yang merupakan cadangan pasti (reserves). Cadangan terbesar pun hanya tersebar di Sumatera Selatan (37 persen), Kalimantan Timur (35 persen), dan Kalimantan Selatan (26 persen). Melihat besarnya cadangan, batu bara memang relatif akan "berumur panjang" dibandingkan dengan minyak bumi yang saat ini cadangan terbukti (prove reserve) hanya 6 miliar barrel (1 persen dari cadangan du- nia). Jumlah sebesar itu hanya cukup untuk persediaan 16 tahun ke depan, dengan asumsi tingkat produksi rata-rata satu juta barrel per hari dan tidak ditemukan cadangan baru.

II Pengelolaan batu bara di kalimantan selatan

Pengelolaan batubara saat ini didasarkan pada Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). UU ini menggantikan UU nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum. Berdasarkan UU Minerba kebijakan pengelolaan batubara diarahkan untuk meningkatkan eksplorasi dan produksi, meningkatkan nilai tambah dan kompetisi industri batubara, menerapkan pengelolaan pertambangan batubara yang baik dan benar serta pengelolaan industri batubara berkelanjutan yang peduli lingkungan hidup.

Dijelaskannya UU Minerba juga mengakomodir tuntutan desentralisasi, sesuai atau konsisten dengan pasal 33 UUD 1945, memberlakukan para pihak dalam industri batubara sederajat di depan hukum, setara dalam kontrak serta menjaga iklim usaha yang baik. Sedangkan ijin usaha dalam UU Minerba diatur dalam bentuk Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang terdiri IUP Eksplorasi dan IUP Produksi dan Operasi. Selain itu juga diatur Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) dan IUP Khusus (IUPK).

Saat ini Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan mengenai Domestic Market Obligation (DMO) untuk Keamanan Pasokan Batubara seiring dengan meningkatnya kebutuhan batubara di dalam negeri. Selain itu pemerintah juga tengah menyiapkan kebijakan harga batubara dengan menetapkan Indonesian Coal Price Reference (ICPR) untuk mengoptimalkan penerimaan negara. ICPR yang didasarkan pada Coal Price Indexes diharapkan menjadi indikator untuk mendapatkan kesesuaian harga antara produsen dan konsumen.

III Kendala yang di hadapi dalam masa pengelolaan

Royalti batubara yang diterima Kalsel sangat minim, walau merupakan penghasil batubara nomor dua terbesar di Indonesia dan mengalamai kerusakan lingkungan yang parah, Kalsel hanya mendapat royalti batubara sebesar Rp85 milyar per tahun, walau produknya cukup besar

Sedangkan kerusakan lingkungan yang dialami cukup parah, baik dari pemegang PKP2B ataupun Kuasa Pertambangan (KP) yang dikeluarkan Bupati terasuk kerusakan jalan. Kerusakan yang dialami Kalsel tidak sebanding dengan royalti yang diterimanya, Masalah pertambangan di Kalsel cukup carut marut, mulai dari tumpang tindih lahan dengan perkebunan, petani maupun kehutanan, termasuk tunggakan royalti.

Ke depan, diharapkan pertambangan bisa menerapkan kaidah good mining practice, agar eksploitasi sumber daya alam ini tidak menyebabkan kerusakan lingkungan

IV Cara pelestarian sumber batu bara

Dengan akan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang baru, diharapkan dapat menarik investor pertambangan batu bara yang sejak tahun 1998 sepi peminat. UU baru yang akan menjadi pengganti UU Nomor 11 Tahun 1967 ini diharapkan mempercantik wilayah tambang di Indonesia sehingga merangsang investor untuk menanamkan modalnya di sektor ini.

Meski demikian, kita tetap harus mengingat dalil sederhana bahwa semakin banyak kita membuang energi ke luar, semakin banyak kita kehilangan. Sebaliknya, sebagian dari investor yang datang adalah dari negara yang menerapkan pencadangan sumber daya energi untuk memenuhi kebutuhan generasi mereka mendatang.

Oleh sebab itu, di UU yang baru tersebut harus dipertegas bahwa batu bara bukan hanya sekadar komoditas semata. Akan tetapi, barang tambang yang berupa batu bara ini harus lebih dimaknai dan diposisikan sebagai sumber daya energi strategis. Sikap semacam itu harus menjadi dasar kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan batu bara.

Dengan penekanan tersebut, terlalu sederhana kalau kita hanya membandingkan kebanggaan tingginya ekspor dan besarnya devisa yang diperoleh negara dari komoditas strategis tersebut. Kebanggaan itu harus lebih dari itu. Sebab, nilai strategis batu bara harus kita hitung dari seberapa besar nilai energi yang bisa dimanfaatkan dalam kurun waktu 50 tahun mendatang, atau bahkan lebih.

Melihat permasalahan yang begitu luas dalam sektor batu bara, pemerintah harus tetap melihat permasalahan yang ada dalam pengelolaan sektor pertambangan batu bara.

Pertama, pemakaian batu bara dalam negeri harus lebih dipacu dan kebijakan keamanan suplai (security supply). Kebutuhan batu bara dalam negeri harus dipertegas pemerintah serta harus dapat diimplementasikan oleh pengusaha batu bara secara riil. Misalnya, harus ada kebijakan domestic market obligation (DMO) yang tegas dan kuantitatif.

Kedua, pengelolaan dan kebijakan batu bara semestinya dibedakan antarwilayah utama, yakni yang berada di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Di Sumatera Selatan, dengan kandungan batu bara yang kualitas rendah (lignit), kebijakan yang paling tepat adalah diarahkan untuk PLTU mulut tambang ( minemouth power plant), apalagi interkoneksi listrik Sumatera-Jawa yang akan selesai tahun 2007 (Kompas 28/02). Untuk Kalimantan, dengan batu bara yang berkualitas tinggi, semestinya harus ada pengontrolan tingkat produksi, khususnya kepentingan pendapatan negara.

Ketiga, dengan keluarnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam harus lebih diperhatikan pemerintah pusat. Untuk menghindari kenakalan royalti yang dibayarkan perusahaan pertambangan batu bara, semestinya pemerintah tidak hanya menerima laporan saja. Namun, harus lebih proaktif dalam perhitungannya, termasuk mengamati harga batu bara dari waktu ke waktu secara terus- menerus.

Keempat, melihat pentingnya energi bagi generasi mendatang, tujuan konservasi energi harus lebih dipertegas. Bahkan, pemerintah harus berani memberikan reward bagi individu atau organisasi yang berhasil melakukan riset serta penyebaran ilmu dan teknologi konservasi energi. Cara seperti itu dilakukan juga oleh China melalui UU Konservasi Energi (Law of the People's Republic of China on Conserving Energy-Article 7).

V Kesimpulan

Selain itu, pemerintah juga harus berani beri penghargaan bagi perusahaan tambang batu bara yang melakukan riset (riset keilmuan eksplorasi, eksploitasi dan penggunaan batu bara).

Terakhir, dengan tujuan mendorong pertumbuhan sebesar 5 persen, serta target memenuhi kenaikan energi listrik sebesar 9 persen, maka batu bara sebagai energi strategis harus diutamakan untuk mendorong pertumbuhan industri nasio

"Ke depan, kita harapkan pengelolaan pertambangan bisa lebih baik lagi, terutamam memperhatikan kelestarian lingkungan hidup," ungkapnya


referensi :

www. wikipedia.org

www.kompas.com


LINK POWERPOINT :


http://www.scribd.com/full/20737045?access_key=key-6cvn92l3xh16tp9u7u0